Sabtu, 06 November 2010
Clinical Chemistry
*cumi farma'08
Dirancang sebagai larutan pengencer pada penghitungan jumlah sel darah merah (red blood counts: RBC)
Komposisi : natrium klorida (NaCl), natrium sulfat (Na2SO4¬), metil ungu, gliserol dan air suling
Clinical Chemistry
*cumi farma'08
Dirancang sebagai larutan pengencer pada penghitungan jumlah sel darah merah/eritrosit (red blood counts: RBC).
Komposisi : Air suling/aquadest, natrium klorida (NaCl), natrium sulfat (Na2SO4), dan merkuri klorida (HgCl2)
Pembuatan reagen hayem
Komposisi :
Na2SO4 2,5 gram
NaCl 0,5 gram
HgCl2 (Merkuri klorida) 0,25 gram
Aquadest 100 ml
Cara Pembuatan :
Timbang Na2SO4 sebanyak2,5 gram, NaCl sebanyak 0,5 gram, dan HgCl2 sebanyak 0,25 gram.
Masukkan semua bahan ke dalam beaker glass
Add kan dengan aquadest sampai 100 ml, homogenkan
Masukkan ke dalam botol reagen dan beri etiket
Cara penggunaan: Sel darah merah diukur menggunakan hemositometer Neubauer. Darah dipipet (menggunakan pipet khusus) sampai angka 0,5 dan diencerkan dengan larutan hayem sampai menunujukkan angka 101, dikocok pelan-pelan dan dibuang beberapa tetes, maksudnya untuk membuang pelarut yang tidak bercampur dengan darah. Darah diteteskan pada 400 buah
kotak hitung yang berukuran 1/20 mm x 1/20 mm 1/10 mm. Jumlah sel darah merah dapat
dihitung di bawah mikroskop hanya pada 80 buah kotak yang mewakili 400 kotak di atas.
Clinical Chemistry
*cumi farma'08
Dirancang sebagai larutan pengencer pada penentuan hemoglobin
Komposisi : natrium bikarbonat (NaHCO3), kalium sianida (KCN), kalium ferrisianida (K3Fe[CN]6), dan air suling.
Metode sianmethemoglin didasarkan pada pembentukan sianmethemoglobin yang intensitas warnanya diukur secara fotometri. Reagen yang digunakan adalah larutan Drabkin yang mengandung Kalium ferisianida (K3Fe[CN]6) dan kalium sianida (KCN). Ferisianida mengubah besi pada hemoglobin dari bentuk ferro ke bentuk ferri menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan KCN membentuk pigmen yang stabil yaitu sianmethemoglobin. Intensitas warna yang terbentuk diukur secara fotometri pada panjang gelombang 540 nm.
Selain K3Fe[CN]6 dan KCN, larutan Drabkin juga mengandung kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4) dan deterjen. Kalium dihidrogen fosfat berfungsi menstabilkan pH dimana rekasi dapat berlangsung sempurna pada saat yang tepat. Deterjen berfungsi mempercepat hemolisis darah serta mencegah kekeruhan yang terjadi oleh protein plasma.
Cara penggunaan: Darah dipipet dgn menggunakn pipet mikro sebanyak 20 mikroliter, kemudian dilarutkan dalam 5,0 mL larutan Drankin (1 gr NaHCO; 0,05 gram KCN; 0,2 gram K3Fe[CN]6 dalam 1 liter aquades) yang sudah disediakan sebelum dan di dalam suatu tabung reaksi. Larutan Drabkin dikocok untuk menyempurnakan kelarutan darah sehingga diperoleh warna yg homogen. Kepekatan warna larutan dibaca menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 540nm.
Jumat, 05 November 2010
Kimia Medisinal Hubungan Struktur dan Metabolisme-Distribusi Obat
HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT FISIKA KIMIA DENGAN PROSES METABOLISME DAN DISRTIBUSI OBAT DALAM TUBUH
1. Hubungan struktur, sifat fisika kimia dengan proses metabolisme
Proses metabolisme dapat dipengaruhi aktivitas biologis, masa kerja, dan toksisitas obat, sehingga pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik asing lain (xenobiotika) sangat penting dalam dunia kimia medisinal. Secara umum, tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi metabolit tidak aktif dan tidak toksik (bioinaktifasi atau detoksifikasi), mudah larut dalam air dan kemudian diekresikan dari tubuh. Hasil metabolit beberapa obat bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk (biotoksifikasi) tapi ada pula hasil metabolit obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda dengan senyawa induk (Siswandono, 1995).
Hati adalah organ tubuh yang merupakan tempat utama metabolisme obat karena mengandung lebih banyak enzim-enzim metabolisme dibanding organ yang lain. Setelah pemberian oral, obat diserap oleh saluran cerna, masuk peredaran darah dan kemudian masuk kedalam hati melalui efek lintas pertama. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melalui sel-sel hati secara perlahan-lahan termetabolisis menjadi senyawa yang mudah larut dalam air kemudian diekresikan melalui urin. Contoh obat yang yang dimetabolisis di dalam hati adalah isoproterenol, lidokain, meperidin, propoksifen, propanolol dan salisilamid. Hati menghsilkan cairan empedu yang membantu pencernaan lemak dan sebagai media untuk ekskresi metabolit beberapa obat melalui tinja. Selain hati tenyata usus juga mempunyai peranan penting dalam proses metabolisme. Adanya flora normaldi usus halus dan memetabolisme obat dengan cara kerja sama dengan enzim-enzim mikrosom hati. Sejumlah konjugat glukorina di ketahui dikeluarkan oleh empedu ke usus. Di usus konjugat tersebut terhirolisis olah enzim glukurinodase menghasilkan obat bebas yang bersifat lipofil. Obat bebas ini diserap secar difusi pasif melalui dinding usus, masuk peredaran darah dan masuk kembali ke hati. Di hati terjadi konjugasi kembali menghasilkan konjugat yang hidrofil, kemudian dikeluarkan kembali melalui empedu. Di usus konjugat terhidrolisis lagi, demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus. Proses ini dinamakan siklus entherohepatik. Konjugat obat yang tidak mengalami hidrolisis langsung diekresikan melalui tinja (Siswandono, 1995).
Reksi metabolisme obat dan senyawa organik asing ada dia tahap yaitu:
1. Reaksi fasa I atau reaksi fungsionalisasi
2. Reaksi fasa II atau reaksi konjugasi
Yang termasuk reaksi fasa I adalah reaksi-reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Tujuannya adalah memasukkan gugus fungsional tertentu yang bersifat polar, seperti OH, COOH, NH2, dan SH, ke struktur molekul senyawa. Hal ini dapat dicapai dengan:
a. Secara langsung memasukkan gugus fungsional, contoh: hidroksilasi senyawa aromatik dan alifatik
b. Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul.
Contohnya:
1. Reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol
2. Oksidasi alkohol menjadi asam karboksilat
3. Hidrolisis ester dan amida, menghasilkan gugus-gugus COOH, OH dan NH2
4. Reduksi senyawa azo dan nitro menjadi gugus NH2
5. Dealkilasi oksidatif dari atom N, O dan S menghasilkan gugus-gugus NH2, OH dan SH.
Meskipun reaksi fasa I kemungkinan tidak menghasilkan senyawa yang cukup hidrofil, tetapi secara dapat meghasilkan suatu gugus fungsional yang mudah terkonjugasi atau mengalami reaksi fasa II. Yang termasuk reaksi fasa II adalah reaksi konjugasi, metilasi, dan asetilasi. Tujuannya adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fasa I dengan senyawa endogen yang mudah terionisasi dan bersifat polar, seperti asam glukoronat, sulfat, glisisn, dan glugtamin menghasilkan konjugat yang mudah larut dalam air. Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktifitas dan toksisitas, dan kemudian diekskresikan melalui urine. Reaksi metilasi dan asetilasi bertujuan membuat senyawa menjadi tidak aktif (Siswandono, 1995).
v Reaksi metabolisme fasa I
Contohnya :
Tiopental yang merupakan turunan barbaitirat yang mempunyai kerja awal dan masa serja yang singkat. Mekanisme kerja tiopental adalah sebagai berikut:
Tiopental dengan (pKa= 7,6) mempunyai nilai koefisien partisi lemak air = 100 (log p = 2). Dalam plasma darah mempunyai pH= 7,4, tiopental terdapat dalam bentuk yang tak terionisasi = 50%, yang mempunyai kelarutan dalam lemak besar. Setelah pemberian dosis tunggal secara intravena, dalam e=waktu beberapa detik, tiopental dengan cepat didistribusikan ke jaringan otak atau sistem saraf pusat, yang mengandung banyak jaringan lemak sehingga kadar dalam jaringan otak lebih besar dibanding kadar dalam plasma darah dan terjadi efek anestesi (awal kerja obat cepat). Tiopental yang berada plasma darah dengan cepat terdistribusi dan disimpan dalam depo lemak. Makin lama makin banyak sehingga kadar obat dalam plasma menurun secara drastis. Untuk mencapai kesetimbangan, tiopental yang ada dalam jaringan otak akan masuk kembali dalam plasma darah sehingga kadar anestesi tidak tercapai lagi, dan efek anestesi segera berakhir (masa kerja obat singkat).
ada proses metabolismenya tiopental yang bersifat liopfil akan mengalami reaksi metabolisme fase I, diman reaksi yang terjadi adalah reaksi oksidai sistem C-S. Tiopental mengalami desulfurasi (C=S C=O) menghasilkan pentobarbital.
Didalam hati tiopental dirombak dengan sangat lambat menjadi 3-5 % pentobarbita (mengalami bioinaktifasi) dan sisanya menjadi metabolit tidak aktif yang diekskresikan melalui saluran kemih. Kadarnya dalam jaringan adalah 6-12 x lebih besar daripada kadar dalam plasma. Obat-obat yang mengalami jalur metabolisme dengan reaksi fase I yang meliputi N- hidroksilasi, desulfurasi seperti tiopental, pembukaan cincin asam barbiturat dan N-dealkilasi akan diekresikan dalam urine dalam benrtuk keadaan utuh.
v Reaksi metabolisme fase II
Kloramfenikol adalah obat yang berkhasiat sebagai obat antibiotik. Kloramfenikol termasuk dalam obat yang mengalami metabolisme fase I (reaksi fungsionalisasi). Pada reaksi ini, kloramfenikol termasuk dalam reaksi oksidasi dimana terjadi penambahan gugus OH. Pada metabolisme fase I terjadi penambahan gugus fungsional tertentu yang bersifat polar, seperti OH, COOH, NH2, dan SH ke struktur molekul senyawa. Metabolisme fase I mengubah obat yang bersifat lipofil menjadi obat yang bersifat hidrofil dengan menambahkan produk polar. Sedangkan metabolisme fase II mengubah obat yang bersifat hidrofil menjadi obat yang bersifat sangat hidrofil, akibatnya obat akan dikeluarkan melalui ginjal dalam bentuk urin (Siswandono dan Bambang, 2000). Adapun reaksi dari kloramfenikol, yaitu :
Kloramfenikol termasuk ke dalam obat yang mengalami bioaktivasi pada metabolisme fase I dan mengalami bioinaktivasi pada metabolisme fase II.
Adapun penjelasannya, yaitu :
a. Bioaktivasi
Kloramfenikol mengalami oksidasi dengan penambahan gugus OH menjadi turunan oksamil klorida yang aktif sebagai antibiotik. Kloramfenikol yang bersifat lipofil ini mengalami perubahan menjadi obat yang bersifat hidrofil karena adanya penambahan gugus polar, yaitu gugus OH. Akibatnya, 5-10% kloramfenikol yang dalam bentuk aktif (turunan oksamil klorida) dapat diekskresi oleh ginjal melalui urin. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi terutama melalui filtrat glomerulus (Tim Penyusun, 2008).
Adapun reaksinya, yaitu :
(Siswandono & Bambang, 2000).
b. Bioinaktivasi
Kloramfenikol yang telah bersifat hidrofil (turunan oksamil klorida) kembali mengalami konjugasi (metabolisme fase II) dengan asam glukuronat oleh enzim glukuronit transferase menjadi obat yang sangat hidrofil (turunan asam oksamat). Akibatnya, 80-90% kloramfenikol yang sangat hidrofil (turunan asam oksamat) diekskresi melalui ginjal dalam bentuk urin (Tim Penyusun, 2008).
2. Hubungan struktur, sifat fisika kimia dengan proses ekskresi.
v Ekskresi Obat melalui Paru
Obat yang di ekskresikan melaluiparu terutama adalah obat yang di gunakan secara inhalasi, seperti siklopropan, etilen nitrogen oksida, halotan, eter, kloroform dan enfluran. Sifat fisik yang menentukan kecepatan obat melalui paru adalah koefisien partisi darah/udara. Obat yang mempunyai koefisien partisi darah/udara kecil, seperti siklopropan dan nitrogen oksida, diekskresikan dengan cepat, sedang obat dengan koefisien partisi darah/udara besar, seperti eter dan halotan, di ekresikan lebih lambat.
v Ekskresi Obat melalui Ginjal
Ekskresi obat yang dikeluarkan dengan jalan filtrasi glomerusi sangat diperlambat, karena hanya obat bebas mengalami filtrasi. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan, misalnya benzilpenisilin (PP k.l 50%) hampir diekskresikan seluruhnya dengan pesat (Tjay, 2007).
Ekskresi obat melalui ginjal melalui tiga tahap yaitu, penyaringan glomerulus, absorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal dan sekresi aktif pada tubulus ginjal.
a. Penyaringan glomerulus
Ginjal menerima ± 20-25% cairan tubuh dari jantung atau 1,2-1,5 lier darah per menit, dan ± 10% disaring melalui glomerulus. Membran glomerulus empunyai karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul obat dengan garis tengah ± 40% Ã…, berat molekul lebih kecil dari 5000 dan obat mudah larut dalam cairan plasma atau obat yang bersifat hidrofil (Siswandono, 1995).
Selama filtrat ini dipekatkan dalam tubuli zat-zat lipofil berdifusi kembali secara pasif pula melalui membran sel-nya kedalam darah dan demikian menghindari ekskresi. Zat-zat hidrofil hampir tidak didifusi kembali dan langsung dikeluarkan lewat urine. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi agak ringan (Tjay, 2007).
Contohnya : Indometacin dengan Litium, dimana pada aliran darah keginjal diatur oleh prostaglandin (PG). Indometcin menghambat sintesis PG sehingga menyebabkan fungsi ginjal menurun dan kadar litium menjadi meningkat.
b. Adsorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal
Adsorpsi kembali molekul obat dan koefisien partisi lemak/air. Obat yang bersifat polar, sukar larut dalam lemak, tidak diadsorpsi kembali oleh mebran tubulus. Adsorpsi kembali pada tubular ini sanagat tergantung pada pH urin. Obat yang bersifat elektrolit lemah pada urine normal, pH = 4,8-7,5. Sebagian besar akan terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi, mudah larut dalam lemak, sehingga mudah diadsorpsi kembali oleh tubular.
c. Sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal
Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urinr melalui tubulus ginjal dengan mekanisme pengangkutan aktif. Sebagai contoh, kombinasi obat antara probenesid dengan penisilin meningkatkan masa kerja penisilin karena probenesid dapat menghambat sekresi pengangkutan aktif penisilin secara kompetitif sehingga ekskesi penisili menurun, kadar penisilin dalam darah tetap tinggi dan menunjukkan aktifitas lebih lanjut.
v Ekskresi Obat melalui Empedu
Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat telah dimetabolisis menjadi senyawa yang lebih polar, dapat diekresikan dari hati, melewati empedu, menuju keusus dengan mekanisme pengangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukoronat, asam sulfat atau glisin. Diusus bentuk konjugat tersebut secara langsung diekresikan melalui tinja ataupun mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang besifat nonpolar, sehingga di absorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati dan dimetabolisme dan di keluarkan kembali melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya hingga dinamakan siklus entherohepatik. Dimana siklus ini mempunyai masa kerja obat menjadi lebih panjang.
Contohnya adalah ampicilin diekresi kedalam empedu, dan dimanfaatkan dengan memberika ampicillin untuk infeksi dari saluran empedu. Beberapa obat dikethui mengalami siklus ini adalah dioksin, rifamfisin, stilboestrol, glutethimide, klorampenikol, indometacin dan morfin (Zaman, 2002).
Contoh mekanismenya : antara probenesid dengan penisillin. Dimana probenesid adalah obat asam urat yang merebut medium transport dari penisilin, sehingga menyebabkan ekskresi penisliin terhambat. Penisilin tertahan lama dalam ginjal. Sehingga menyebabkan efek penisilin lebih panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Siswandono, dan Bambang Soekarjo. 1995. Kimia Medisinal Edisi I. Airlangga university Press. Surabaya.
Tim Penyusun. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Universitas Indonesia. Jakarta
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-efek sampingnya. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Zaman, Nanizar. 2002. Ars Prescribendi Resep yang Rasional Edisi ke-3. Airlangga University Press. Surabaya.
Apa sih biofarmasetika itu???
BIOFARMASETIKA
Dalam proses terapi, terdapat beberapa faktor yang menentukan yaitu: diagnosa penyakit secara akurat, status klinik jelas, dan penentuan obat tepat. Di sinilah pokok pentingnya biofarmasetika yang erat hubungannya dengan penentuan obat yang tepat. Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara sifat fisikokimia formulasi dengan bioavailabilitas obat (Shargel & Andrew, 2005) hal 85.
Penggunaan obat untuk berbagai penyakit merupakan proses yang banyak seginya dan merupakan proses yang kompleks. Pertama: molekul aktif harus diketahui dan harus digunakan secara rasional, dalam arti keuntungan penggunaan dibandingkan kerugian bahaya/racunnya. Kedua: obat harus diformulasi dengan membuat suatu bentuk sediaan yang sesuai dan mengandung dosis yang tepat, serta diberikan dengan cara tepat pula sehingga mencapai organ/jaringan sasaran yang dituju. Ketiga: harus diperhitungkan dosis regimen sehingga obat dapat efektif dalam tubuh, yang ditentukan/disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis/patologis dan klinis (Joenoes, 2006) hal 21.
Biofarmasetika adalah pengkajian faktor-faktor fisiologis dan farmasetik yang mempengaruhi pelepasan obat dan absorbansi dari bentuk sediaan. Sifat-sifat fisika kimia dari obat dan bahan-bahan penambah menetapkan laju pelepasan obat dari bentuk sediaan dan transport berikutnya melewati membran-membran biologis, sedangkan fisiologis dan kenyataan biokimia menentukan nasib obat dalam tubuh (Lachman dkk, 2007) hal 427.
Bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik, dan aktivitas toksik obat, maka biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel & Andrew, 2005) hal 85.
Tolok ukur fisiko-kimia dari obat dan bentuk sediaan dapat diukur dengan tepat dan teliti secara in vitro, sedangkan perkiraan kuantitatif dari absorbsi obat yang berarti dapat diperoleh hanya melalui percobaan yang tepat secara ini vivo. Teknik farmakokinetika memberikan arti dalam mengukur proses-proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi obat pada organisme yang memakannya (hewan atau manusia) (Lachman dkk, 2007) hal 427.
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorbsi serta sifat-sifat fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorbsi yang cepat dan absorbsi lengkap menjadi lambat, kecepatan absorbsi diperlambat atau bahkan tidak terjadi sama sekali (Shargel & Andrew, 2005) hal 85.
Evaluasi dan interprestasi dari studi Biofarmaseutika merupakan bagian yang integral dari pengembangan obat obat, (“drug-product-design”). Penelitian-penelitian di bidang biofarmaseutika mencakup:
- Pengaruh dan interaksi antara formulasi obat dan teknologi, pembuatannya dalam berbagai bentuk sediaan yang akhirnya sangat menentukan kerja obat sesuai dengan sifat fisiko kimianya.
- Pengaruh dan interaksi antara obat dan lingkungan biologik pada situs penyerapan dan cara pemberian obat yang akhirnya menentukan disposisi bahan/zat aktif dalam tubuh.
- Pengaruh dan interaksi dari zat aktif dengan organisme menentukan ketersediaan obat secara biologis.
(Joenoes, 2006) hal 22.
Pada formulasi obat dilakukan dengan cara-cara berikut:
1. Pemilihan bahan baku zat aktif (sumbernya) yang paling baik dengan melihat kecepatan disolusinya. Kecepatan disolusi zat aktif dari sediaan dalam saluran pencernaan makanan cukup erat kaitannya dengan kecepatan absorbsi oba tersebut dalam tubuh.
2. Evaluasi sifat/kualitas sediaan dalam tahap pengembangan.Bidang formulasi dalam pengembangan dan perbaikan formula sediaan, khususnya sediaan padat (tablet, kapsul, kaplet) dengan efek sistemik yang digunakan secara oral, yaitu dengan menentukan profil disolusi zat aktif dari masing-masing formula yang dicoba.
3. Penilaian tahap akhir mutu sediaan. Sediaan- sediaan yang formulasinya sudah selesai dan siap untuk diproduksi dalam skala besar untuk mulai dipasarkan, khususnya sediaan-sediaan dalam bentuk padat yang digunakan secara oral, diperiksa mutunya dengan menilai bioavailabilitasnya. Penilaian bioavailabilitas dilakukan secara komparatif dengan membandingkannya terhadap bioavailabilitas sediaan lain (dalam bentuk sediaan dan komposisi zat aktif yang sama), yang diproduksi oleh pabrik farmasi lain yang patut dijadikan sebagai patokan yang baik.
4. Penilaian ketepatan aturan dosis (dosage regimen). Dengan mengetahui therapeutic window dan data farmakokinetikanya, aturan dosis obat dinilai kembali, apakah dosis tidak terlalu besar sehingga pemakaian obat tidak efisien atau malah mungkin akan timbul efek-efek yang tidak diharapkan, atau mungkin terlalu kecil sehingga obat tidak akan bekerja secara efektif
(Anonim2, 2010).
Pelayanan informasi farmakokinetika (perjalanan obat di dalam tubuh). Pelayanan informasi farmako kinetika adalah pelayanan informasi mengenai perjalanan obat di dalam tubuh, yang meliputi :
o Sistem transpor (bentuk dan cara pemberian obat)
o Resorpsi (sistem penyerapan)
o Biotranformasi (sistem jaringan dalam merubah bentuk obat menjadi hidrofil di dalam hati agar metabolitnya dapat masuk ke sistem pembuluh darah/vena porta
o Distribusi (sistem penyebaran obat bersama metabolitnya oleh darah keseluruh jaringan organ tubuh)
o Ekskresi (sistem pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh oleh ginjal melalui air seni/urine, kulit (keringat), paru-paru, empedu dan air susu)
(Anonim1,2010).
Proses Biovailabilitas Obat
Bioavailabilitas obat ialah jumlah relatif obat atau zat aktif suatu produk obat yang diabsorpsi, serta kecepatan obat tersebut masuk ke dalm peredaran sistemik. Efek terapetik suatu obat sangat bergantung pada kadar obat dalam darah/plasma; dengan demikian bioavailabilitas obat dari bentuk sediaannya akan mempengaruhi respon penderita terhadap obat (Joenoes, 2006) hal 120.
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui serangkaian proses antara lain:
Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu: (1) jenis produk obat (misal: larutan, suspensi, supositoria); (2) sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri (Shargel & Andrew, 2005) hal 86.
Faktor Farmasetik Yang Mempengaruhi Bioavailabilitas
Faktor-faktor yang memperngaruhi bioavailabilitas obat aktif yaitu:
1. Disintegrasi
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat.
2. Pelarutan
Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh dikenal sebagai ”stagnant layer”, berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah. Laju pelarutan adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per waktu (misal g/cm2.menit). Laju pelarutan dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media dan kecepatan pengadukan
3. Sifat Fisikokimia Obat
Sifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai pengaruh yang besar pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri atas: luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air, dan bentuk obat yang polimorf.
4. Faktor Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan Obat
Berbagai bahan tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut atau bereaksi dengan obat itu sendiri. Misalnya, magnesium stearat (bahan pelincir tablet) dapat menolak air, dan bila digunakan dalam jumlah besar dapat menurunkan pelarutan. Natrium bikarbonat dapat mengubah pH media. Untuk obat asam seperti aspirin dengan media alkali akan menyebabkan obat tersebut melarut cepat. Serta, bahan tambahan yang berinteraksi dengan obat dapat membentuk kompleks yang larut atau tidak larut dalam air, contoh tetrasiklina dan kalsium karbonat membentuk kalsium tetrasiklina yang tidak larut air.
(Shargel & Andrew, 2005) hal 95-98.
Pertimbangan Dalam Rancangan Bentuk Sediaan
Pertimbangan terpenting dalam merancang suatu sediaan adalah keamanan dan keefektifan. Bahan-bahan aktif dan in-aktif harus aman bila digunakan seperti yang diharapkan. Obat yang dilepas secara efektif ke tempat sasaran sehingga efek terapik yang diharapkan dapat dicapai (Shargel & Andrew, 2005).
Pertimbangan berikutnya meliputi:
- Pertimbangan penderita; obat yang pahit dapat dibuat berupa tablet/kapsul yang dienkapsulasi atau disalut, ukuran cukup kecil agar mudah ditelan, dan frekuensi pemberian dosis dijaga minimum.
- Pertimbangan dosis; obat tersedia dalam beberapa macam kekuatan dosis dengan didasarkan luas permukaan tubuh, berat badan, dan dengan pemantauan konsentrasi obat dalam tubuh.
- Pertimbangan frekuensi pemberian dosis; dikaitkan dengan waktu paruh eliminasi obat dan konsentrasi terapetik obat.
- Pertimbangan terapetik; tergantung kondisi terapi yang segera atau akut. Misalnya obat penghilang rasa sakit harus diabsorbsi cepat agar rasa sakitnya cepat hilang, sedangkan obat asmatik dirancang untuk diabsorbsi lambat agar efek perlindungan dari obat berakhir setelah jangka waktu panjang.
- Efek samping pada saluran cerna; untuk obat yang mengiritasi lambung dapat diatasi dengan disalut enterik atau untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dapat diformulasi dalam kapsul gelatin lunak sebagai suatu larutan.
(Shargel & Andrew, 2005) hal 113-116.
Pertimbangan Rute Pemberian
Obat masuk ke tubuh dengan cara intravaskuler atau ekstravaskuler. Cara intravaskulas, ialah obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik; seperti pemberian intravena (suntikan atau infus), intraarterial, dan intrakardial. Pemberian intravascular berarti obat tidak perlu mengalami fase pertama untuk memberikan efek, yaitu absorpsi. Sebaliknya, pada cara ekstravaskular, obat harus diabsorpsi dahulu sebelum masuk ke peredaran sistemik; pemberian oral/per oral, intramuskular, subkutan, rektan, dan topical. Syarat untuk absorpsi ialah obat (atau zat berkhasiat dari obat) harus terbebaskan dahulu dari bentuk sediaannya, dan ini bergantung tidak saja pada faktor fisiko-kimia obat tetapi juga pada lingkungan dari bagian tubuh dimana obat diserap. Faktor dari teknik pembuatan (farmako-teknik) merupakan penentu untuk pembebasan obat dari bentuk sediaannya ke dalam cairan tubuh (Joenoes, 2006) hal 22.
a. Produk-Produk Parenteral
- Obat-obat yang diinjeksikan secara intravena langsung masuk ke dalam darah dan dalam beberapa menit beredar ke seluruh bagian tubuh. Hanya untuk obat yang larut dalam air. Pelarut yang digunakan adalah kombinasi propilen glikol dengan pelarut lain.
- Obat-obat yang diinjeksikan secara intramuskular melibatkan penundaan absorpsi karena obat berjalan dari tempat injeksi ke aliran darah. Formulasi intramuskular dapat untuk melepaskan obat secara cepat atau lambat dengan mengubah pembawa sediaan injeksi. Keuntungannya adalah fleksibilitas formulasi.
b. Tablet Bukal
Tablet ini dirancang untuk terlarut di bawah lidah dan diabsorpsi dalam rongga mulut melalui mukosa mulut, serta mengandung bahan tambahan yang cepat melarut seperti laktosa. Contoh tablet sublingual nitrogliserin.
c. Aerosol
Seringkali digunakan untuk obat yang diberikan ke dalam system pernapasan. Ukuran partikel dari suspense (dalam ukuran kabut) menentukan tingkat penetrasinya. Obat dengan partikel bergerak dengan cara sedimentasi atau gerak Brown ke dalam bronkhioli. Contoh isotarina dan isoproterenol.
d. Sediaan Transdermal
Pemberian sediaan transdermal memberi pelepasan obat ke sistem tubuh melalui kulit. Obat yang diberikan secara transdermal tidak dipengaruhi oleh “first pass effects”. Contoh transderma-V untuk mabuk perjalanan yang melepaskan skopolamin melalui kulit telinga.
e. Sediaan Oral
Keuntungan utama sediaan oral adalah kemudahan-pemakaian dan menghilangkan ketidaknyamanan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian utama adalah persoalan potensial dari penurunan bioavailabilitas dan bioavailabilitas berubah-ubah yang disebabkan absorpsi tidak sempurna atau interaksi obat.
f. Sediaan Rektal
Sediaan rektal disukai untuk obat-obat yang menyebabkan mual. Laju pelepasan obat sediaan ini tergantung pada sifat komposisi dasar dan kelarutan obat yang terlibat, serta terhindar dari “first pass effects”.
(Shargel & Andrew, 2005) hal 116-121.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim1.2010. Pelayanan Informasi Biofarmasi Bentuk Obat Terhadap Efek Terapi.
(diakses pada 7 Oktober 2010).
Anonim2.2010. Sekilas Tentang Farmakokinetika
(diakses pada 7 Oktober 2010).
Lachman, L, H.A Liebermen., Joseph L.K. 2007. Teori dan Praktek Farmasi Industri 2 Edisi Ke-3. UI Press. Jakarta.
Joenoes, N. Zaman. 2006. Ars Prescribendi Resep yang Rasional Edisi ke-3. Airlangga University Press. Surabaya.
Shargel, L. & Andrew B.C.YU. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press. Surabaya.