Jumat, 10 Desember 2010

Demam Dan Obatnya (Antipiretika)

Demam adalah juga suatu gejala dan bukan merupakan penyakit tersendiri. Kini para ahli bersependapat bahwa demam adalah suatu reaksi tangkis yang berguna dari tubuh terhadap infeksi. Pada suhu 37o C limfosit dan makrofag menjadi lebih aktif. Bila suhu melampaui 40-41o C, barulah terjadi situasi kritis yang bisa menjadi fatal, karena tidak terkendalikan lagi oleh tubuh (Ref: Obat-Obat Penting, 2002).


Mekanisme Demam:

- MO masuk ke dalam tubuh membawa zat toksin yang dikenal sebagai pirogen endogen

- Tubuh akan melawan dan mencegahnya dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh (limfosit, makrofag, leukosit) untuk memakannya (fagositosit)

- Tentara tubuh akan mengeluarkan senjatanya berupa pirogen endogen (khususnya Inteleukin / IL-1) sebagai anti infeksi

- Pirogen endogen yang dikeluarkan akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus yang memacu pengeluaran Asam Arakhidonat yang akibatnya akan memacu pengeluaran PGE2 (Prostaglandin)

- PGE2 akan mempengaruhi kerja thermostat hipotalamus

- Hipotalamus merupakan pusat pengaturan suhu tubuh. Hipotalamus akan menjaga kestabilam suhu tubuh dengan mengatur keseimbangan antara pengeluaran panas dengan produksi panas yang berlebihan bila terjadi demam.

(Ref : Fisiologi Sheerwood)


Jenis-Jenis Obat Demam (Antipiretika):

1. Salisilat

Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretika.

Farmakokinetika: Pemberian oral, sebagian salisilat akan diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk yang utuh di lambung, tetapi sebagian besar di usus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi, salisilat akan menyebar di seluruh jaringan tubuh dan cairan transeluler. Obat ini mudah menembus sawar darah otak dan sawar urin. Biotransformasi salisilat terjadi di banyak jaringan terutama di mikosom dan mitokondria hati. Salisilat akan diekskresi dalam bentuk metabolitnya melalui ginjal, keringat dan empedu.

Asetosal/aspirin dapat menimbulkan perdarahan lambung, sindroma Reye (tidak boleh diberikan pada anak usis kurang dari 12 tahun)

Dosis: Untuk dewasa 325 mg- 650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kgBB diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 gr per hari.

(Ref: Farmakologi & Terapi, 2008).

2. Salisilamid

Salisilamid adalah amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgetik-antipiretika mirip asetosal, walaupun badan salisilamid tidak diubah menjadi salisilat. Efek analgetika-antipiretika salisilamid lebih lemah dari salisilat karena salisilamid dalam mukosa usus mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga salisilamid yang diberikan masuk sirkulasi sebagai zat aktif.

Dosis: Untuk dewasa 3-4 kali 300-600 mg sehari. Untuk anak 65 mg/kgBB/hari diberikan 6 kali/hari.

(Ref: Farmakologi & Terapi, 2008).

3. Diflunisal

Diflunisal merupakan derivate difluorofenil dari asam salisilat, tetapi in vivo diubah menjadi asam salisilat.

Farmakokinetika: Setelah pemberian oral, kadar puncak dicapai dalam 2-3 jam. 99% akan terikat di albumin dan waktu paruh berkisar 8-12 jam.

Dosis: Dosis awal 500 mg disusul 250-500 mg sehari dengan dosis pemeliharaan tidak melebihi 1,5 gram sehari

(Ref: Farmakologi & Terapi, 2008).

4. Para Amino Fenol

Derivat para amino fenol yaitu asetaminophen dan fenasetin. Mekanisme: menghambat biosintesis PGE2 yang lemah.

Farmakokinetika: Diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 0,5 jam dan masa paruh dalam plasma adalah 1-3 jam. Dalam plasma, asetaminofen 25% dan fenasetin 30% terikat dalam protein plasma. Ekskresi melalui ginjal dan sebagian asetaminofen dalam bentuk terkonjugasi.

Dosis: Dosis Lazim dewasa 500 mg untuk sekali dan 500mg-2gram untuk sehari (Ref: FI III, 1979).


By: Nurul Aulia Rahmi

cumii f@rma

Sabtu, 04 Desember 2010

Diare (Diarrhea)

Diare adalah kondisi yang ditandai keluarnya feses secara abnormal dalam interval waktu yang sangat singkat. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai sebab di antaranya perubahan diet, intoleransi makanan seperti laktosa, gangguan inflamasi pada usus karena mengonsumsi obat seperti antibiotik, kandungan magnesium dalam antasida, infeksi bakteri (keracunan obat) atau infeksi virus (rotavirus pada anak-anak). Diare khususnya pada anak-anak dan orang tua, lebih cepat menimbulkan dehidrasi. Dehidrasi ini bersifat fatal dan perlu penanganan medis secepatnya (MIMS Indonesia, 2009).

Diare adalah keadaan dimana buang air dengan banyak cairan (mencret) dan merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lainnya, berasal dari bahasa Yunani yaitu diarrea yang berarti “mengalir melalui”. Pada diare terdapat gangguan dari resorpsi sedangkan sekresi getah lambung-usus dan motilitas usus meningkat. Menurut teori klasik, diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus, hingga pelintasan chymus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja. Penelitian dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya resorpsi air atau terjadinya hipersekresi. Biasanya resorpsi melebihi sekresi, tetapi karena sesuatu sebab sekresi menjadi lebih besar daripada resorpsi, maka terjadilah diare (Obat-Obat Penting, 2002).

Diare adalah kondisi ketidakseimbangan absorpsi dan sekresi air dan elektrolit. Mekanisme patofisiologis yang mengganggu keseimbangan air dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya diare yaitu:
1.Perubahan transport ion aktif yang disebabkan oleh penurunan absorpsi natrium atau peningkatan sekresi klorida;
2.Perubahan motilitas usus;
3.Peningkatan osmolaritas luminal;
4.Peningkatan tekanan hidrostatik jaringan.
(ISO Farmakoterapi, 2009).

Diare dan dehidrasi bisa membuat Anda kehilangan berat badan. Jika hal itu terjadi secara teratur (selama lebih dari seminggu) atau disertai dengan sakit perut parah atau demam atau kotoran Anda (kotoran) adalah hitam atau berdarah-atau sangat pucat dan ringan-sangat penting untuk membiarkan dokter Anda segera mengetahui. Ini bisa menjadi tanda sesuatu yang serius. Mengobati diare tanpa mengetahui penyebab dapat melakukannya lebih berbahaya daripada baik. Sebagai contoh, diare dapat membantu untuk menghilangkan infeksi dari usus Anda. Dalam hal ini, minum obat untuk mengelola diare dapat menjaga infeksi dalam tubuh Anda lebih lama. Obat anti-diare seperti Lomotil, Leopectate, Immodium atau Pepto-Bismol dapat membantu meringankan diare. Jadi dapat produk bulking seperti Metamucil (Journal : Positive? How Are You Feeling? Diarrhea. Publication of Information, Inspiration and Advocacy for People Living With HIV/AIDS. San Francisco)

Berdasarkan tinjauan patogenetik dibedakan beberapa mekanisme penyebab sebagai berikut:
1.Kurang absorpsi zat osmotik dari lumen usus (diare osmotik).
2.Meningkatnya sekresi elektrolit dan air ke dalam lumen usus (diare sekretorik).
3.Naiknya permeabilitas mukosa usus
4.Terganggunya motilitas usus
(Dinamika Obat, 2003).

Berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan empat jenis gastroenteritis dan diare sebagai berikut:
1.Diare akibat virus, misalnya ‘influenza perut’ dan ‘travellers diarrhoea’ yang disebabkan antara lain oleh rotavirus dan adenovirus. Mekanisme: virus melekat pada sel-sel mukosa usus yang menyebabkan kerusakan sehingga kapasitas resorpsi menurun dan sekresi air dan elektrolit terganggu.
2.Diare bakterial (invasif) agak sering terjadi, tetapi mulai berkurang berhubung semakin meningkatnya derajat higiene masyarakat. Mekanisme: kuman (bakteri) tertentu menjadi invasif dan menyerbu ke dalam mukosa, memperbanyak diri sambil membentuk toksin. Enterotoksin ini dapat diresopsi ke darah menyebabkan gejala hebat & kejang. Cont bakteri: E. coli spec, Shigella, Salmonella, dan Campylobacter.
3.Diare parasiter. Mekanisme :disebabkan oleh protozoa yang mengakibatkan toksin. Ciri: mencret cairan yg intermiten, feses berlendir, dan bertahan selama satu minggu. seperti protozoa Entamoeba histolytica, Giardia Llambia, Cryptosporidium, dan Cyclospora, yang terutama terjadi di daerah (sub)tropis.
4.Diare akibat penyakit, misalnya colitis ulcerosa, kanker colon, dan infeksi-HIV, serta akibat alergi makanan.
5.Diare akibat obat, yaitu digoksin, kinidin, garam Mg, sefalosporin, dan penyalahgunaan laksansia.
6.Diare akibat keracunan makanan. Penyebab utama: tidak memadainya kebersihan pada waktu pengolahan, penyimpanan, dan distribusi makanan/minuman dengan akibat pencemaran yang meluas. Kuman menyebabkan keracunan adalah kuman-kuman Gram negatif
(Obat-Obat Penting, 2002).

Penggolongan Obat Anti Diare:
1. Kemoterapeutika; untuk terapi kausal yakni memberantas bakteri penyebab diare, cont: antibiotika, sulfonamida, dan senyawa kinolon
2. Obstipansia; untuk terapi simtomatis yang menghentikan diare dengan beberapa cara yaitu:
a. zat-zat penekan perilstatik; akan memperlambat gerakan perilstatik pada usus sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk resorpsi air & elektrolit pada mukosa usus, cont: Loperamida (derivat petidin), Atropin, Ekstrak Belladona
b.adstrigensia; akan menciutkan selaput lendir usus, cont: tanin, garam-garam bismut, aluminium
c.adsorbensia; akan menyerap zat-zat beracun yang dihasilkan bakteri ataupun dari makanan (cont: karbo adsorben) , dan menutupi selaput lendir usus dan luka-luka dengan suatu lapisan pelindung (cont: kaolin, pektin, garam bismut, aluminium)
3. Spamolitik, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang mengakibatkan nyeri perut pada diare. Cont: Papaverin.
(Obat-Obat Penting, 2002).

*cumi farma'08
By: Nurul Aulia Rahmi

Sabtu, 06 November 2010

Clinical Chemistry

Larutan Toison (Reagent Toison's)
*cumi farma'08

Dirancang sebagai larutan pengencer pada penghitungan jumlah sel darah merah (red blood counts: RBC)
Komposisi : natrium klorida (NaCl), natrium sulfat (Na2SO4¬), metil ungu, gliserol dan air suling

Clinical Chemistry

Larutan Hayem
*cumi farma'08

Dirancang sebagai larutan pengencer pada penghitungan jumlah sel darah merah/eritrosit (red blood counts: RBC).
Komposisi : Air suling/aquadest, natrium klorida (NaCl), natrium sulfat (Na2SO4), dan merkuri klorida (HgCl2)

Pembuatan reagen hayem
Komposisi :
Na2SO4 2,5 gram
NaCl 0,5 gram
HgCl2 (Merkuri klorida) 0,25 gram
Aquadest 100 ml

Cara Pembuatan :
Timbang Na2SO4 sebanyak2,5 gram, NaCl sebanyak 0,5 gram, dan HgCl2 sebanyak 0,25 gram.
Masukkan semua bahan ke dalam beaker glass
Add kan dengan aquadest sampai 100 ml, homogenkan
Masukkan ke dalam botol reagen dan beri etiket

Cara penggunaan: Sel darah merah diukur menggunakan hemositometer Neubauer. Darah dipipet (menggunakan pipet khusus) sampai angka 0,5 dan diencerkan dengan larutan hayem sampai menunujukkan angka 101, dikocok pelan-pelan dan dibuang beberapa tetes, maksudnya untuk membuang pelarut yang tidak bercampur dengan darah. Darah diteteskan pada 400 buah
kotak hitung yang berukuran 1/20 mm x 1/20 mm 1/10 mm. Jumlah sel darah merah dapat
dihitung di bawah mikroskop hanya pada 80 buah kotak yang mewakili 400 kotak di atas.

Clinical Chemistry

Larutan Drabkin’s
*cumi farma'08


Dirancang sebagai larutan pengencer pada penentuan hemoglobin
Komposisi : natrium bikarbonat (NaHCO3), kalium sianida (KCN), kalium ferrisianida (K3Fe[CN]6), dan air suling.

Metode sianmethemoglin didasarkan pada pembentukan sianmethemoglobin yang intensitas warnanya diukur secara fotometri. Reagen yang digunakan adalah larutan Drabkin yang mengandung Kalium ferisianida (K3Fe[CN]6) dan kalium sianida (KCN). Ferisianida mengubah besi pada hemoglobin dari bentuk ferro ke bentuk ferri menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan KCN membentuk pigmen yang stabil yaitu sianmethemoglobin. Intensitas warna yang terbentuk diukur secara fotometri pada panjang gelombang 540 nm.
Selain K3Fe[CN]6 dan KCN, larutan Drabkin juga mengandung kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4) dan deterjen. Kalium dihidrogen fosfat berfungsi menstabilkan pH dimana rekasi dapat berlangsung sempurna pada saat yang tepat. Deterjen berfungsi mempercepat hemolisis darah serta mencegah kekeruhan yang terjadi oleh protein plasma.

Cara penggunaan: Darah dipipet dgn menggunakn pipet mikro sebanyak 20 mikroliter, kemudian dilarutkan dalam 5,0 mL larutan Drankin (1 gr NaHCO; 0,05 gram KCN; 0,2 gram K3Fe[CN]6 dalam 1 liter aquades) yang sudah disediakan sebelum dan di dalam suatu tabung reaksi. Larutan Drabkin dikocok untuk menyempurnakan kelarutan darah sehingga diperoleh warna yg homogen. Kepekatan warna larutan dibaca menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 540nm.

Jumat, 05 November 2010

Kimia Medisinal Hubungan Struktur dan Metabolisme-Distribusi Obat



HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT FISIKA KIMIA DENGAN PROSES METABOLISME DAN DISRTIBUSI OBAT DALAM TUBUH

1. Hubungan struktur, sifat fisika kimia dengan proses metabolisme

Proses metabolisme dapat dipengaruhi aktivitas biologis, masa kerja, dan toksisitas obat, sehingga pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik asing lain (xenobiotika) sangat penting dalam dunia kimia medisinal. Secara umum, tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi metabolit tidak aktif dan tidak toksik (bioinaktifasi atau detoksifikasi), mudah larut dalam air dan kemudian diekresikan dari tubuh. Hasil metabolit beberapa obat bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk (biotoksifikasi) tapi ada pula hasil metabolit obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda dengan senyawa induk (Siswandono, 1995).

Hati adalah organ tubuh yang merupakan tempat utama metabolisme obat karena mengandung lebih banyak enzim-enzim metabolisme dibanding organ yang lain. Setelah pemberian oral, obat diserap oleh saluran cerna, masuk peredaran darah dan kemudian masuk kedalam hati melalui efek lintas pertama. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melalui sel-sel hati secara perlahan-lahan termetabolisis menjadi senyawa yang mudah larut dalam air kemudian diekresikan melalui urin. Contoh obat yang yang dimetabolisis di dalam hati adalah isoproterenol, lidokain, meperidin, propoksifen, propanolol dan salisilamid. Hati menghsilkan cairan empedu yang membantu pencernaan lemak dan sebagai media untuk ekskresi metabolit beberapa obat melalui tinja. Selain hati tenyata usus juga mempunyai peranan penting dalam proses metabolisme. Adanya flora normaldi usus halus dan memetabolisme obat dengan cara kerja sama dengan enzim-enzim mikrosom hati. Sejumlah konjugat glukorina di ketahui dikeluarkan oleh empedu ke usus. Di usus konjugat tersebut terhirolisis olah enzim glukurinodase menghasilkan obat bebas yang bersifat lipofil. Obat bebas ini diserap secar difusi pasif melalui dinding usus, masuk peredaran darah dan masuk kembali ke hati. Di hati terjadi konjugasi kembali menghasilkan konjugat yang hidrofil, kemudian dikeluarkan kembali melalui empedu. Di usus konjugat terhidrolisis lagi, demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus. Proses ini dinamakan siklus entherohepatik. Konjugat obat yang tidak mengalami hidrolisis langsung diekresikan melalui tinja (Siswandono, 1995).

Reksi metabolisme obat dan senyawa organik asing ada dia tahap yaitu:

1. Reaksi fasa I atau reaksi fungsionalisasi

2. Reaksi fasa II atau reaksi konjugasi

Yang termasuk reaksi fasa I adalah reaksi-reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Tujuannya adalah memasukkan gugus fungsional tertentu yang bersifat polar, seperti OH, COOH, NH2, dan SH, ke struktur molekul senyawa. Hal ini dapat dicapai dengan:

a. Secara langsung memasukkan gugus fungsional, contoh: hidroksilasi senyawa aromatik dan alifatik

b. Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul.

Contohnya:

1. Reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol

2. Oksidasi alkohol menjadi asam karboksilat

3. Hidrolisis ester dan amida, menghasilkan gugus-gugus COOH, OH dan NH2

4. Reduksi senyawa azo dan nitro menjadi gugus NH2

5. Dealkilasi oksidatif dari atom N, O dan S menghasilkan gugus-gugus NH2, OH dan SH.

Meskipun reaksi fasa I kemungkinan tidak menghasilkan senyawa yang cukup hidrofil, tetapi secara dapat meghasilkan suatu gugus fungsional yang mudah terkonjugasi atau mengalami reaksi fasa II. Yang termasuk reaksi fasa II adalah reaksi konjugasi, metilasi, dan asetilasi. Tujuannya adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fasa I dengan senyawa endogen yang mudah terionisasi dan bersifat polar, seperti asam glukoronat, sulfat, glisisn, dan glugtamin menghasilkan konjugat yang mudah larut dalam air. Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktifitas dan toksisitas, dan kemudian diekskresikan melalui urine. Reaksi metilasi dan asetilasi bertujuan membuat senyawa menjadi tidak aktif (Siswandono, 1995).

v Reaksi metabolisme fasa I

Contohnya :

Tiopental yang merupakan turunan barbaitirat yang mempunyai kerja awal dan masa serja yang singkat. Mekanisme kerja tiopental adalah sebagai berikut:

Tiopental dengan (pKa= 7,6) mempunyai nilai koefisien partisi lemak air = 100 (log p = 2). Dalam plasma darah mempunyai pH= 7,4, tiopental terdapat dalam bentuk yang tak terionisasi = 50%, yang mempunyai kelarutan dalam lemak besar. Setelah pemberian dosis tunggal secara intravena, dalam e=waktu beberapa detik, tiopental dengan cepat didistribusikan ke jaringan otak atau sistem saraf pusat, yang mengandung banyak jaringan lemak sehingga kadar dalam jaringan otak lebih besar dibanding kadar dalam plasma darah dan terjadi efek anestesi (awal kerja obat cepat). Tiopental yang berada plasma darah dengan cepat terdistribusi dan disimpan dalam depo lemak. Makin lama makin banyak sehingga kadar obat dalam plasma menurun secara drastis. Untuk mencapai kesetimbangan, tiopental yang ada dalam jaringan otak akan masuk kembali dalam plasma darah sehingga kadar anestesi tidak tercapai lagi, dan efek anestesi segera berakhir (masa kerja obat singkat).

ada proses metabolismenya tiopental yang bersifat liopfil akan mengalami reaksi metabolisme fase I, diman reaksi yang terjadi adalah reaksi oksidai sistem C-S. Tiopental mengalami desulfurasi (C=S C=O) menghasilkan pentobarbital.


Didalam hati tiopental dirombak dengan sangat lambat menjadi 3-5 % pentobarbita (mengalami bioinaktifasi) dan sisanya menjadi metabolit tidak aktif yang diekskresikan melalui saluran kemih. Kadarnya dalam jaringan adalah 6-12 x lebih besar daripada kadar dalam plasma. Obat-obat yang mengalami jalur metabolisme dengan reaksi fase I yang meliputi N- hidroksilasi, desulfurasi seperti tiopental, pembukaan cincin asam barbiturat dan N-dealkilasi akan diekresikan dalam urine dalam benrtuk keadaan utuh.

v Reaksi metabolisme fase II

Kloramfenikol adalah obat yang berkhasiat sebagai obat antibiotik. Kloramfenikol termasuk dalam obat yang mengalami metabolisme fase I (reaksi fungsionalisasi). Pada reaksi ini, kloramfenikol termasuk dalam reaksi oksidasi dimana terjadi penambahan gugus OH. Pada metabolisme fase I terjadi penambahan gugus fungsional tertentu yang bersifat polar, seperti OH, COOH, NH2, dan SH ke struktur molekul senyawa. Metabolisme fase I mengubah obat yang bersifat lipofil menjadi obat yang bersifat hidrofil dengan menambahkan produk polar. Sedangkan metabolisme fase II mengubah obat yang bersifat hidrofil menjadi obat yang bersifat sangat hidrofil, akibatnya obat akan dikeluarkan melalui ginjal dalam bentuk urin (Siswandono dan Bambang, 2000). Adapun reaksi dari kloramfenikol, yaitu :


Kloramfenikol termasuk ke dalam obat yang mengalami bioaktivasi pada metabolisme fase I dan mengalami bioinaktivasi pada metabolisme fase II.


Adapun penjelasannya, yaitu :

a. Bioaktivasi

Kloramfenikol mengalami oksidasi dengan penambahan gugus OH menjadi turunan oksamil klorida yang aktif sebagai antibiotik. Kloramfenikol yang bersifat lipofil ini mengalami perubahan menjadi obat yang bersifat hidrofil karena adanya penambahan gugus polar, yaitu gugus OH. Akibatnya, 5-10% kloramfenikol yang dalam bentuk aktif (turunan oksamil klorida) dapat diekskresi oleh ginjal melalui urin. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi terutama melalui filtrat glomerulus (Tim Penyusun, 2008).

Adapun reaksinya, yaitu :


(Siswandono & Bambang, 2000).

b. Bioinaktivasi

Kloramfenikol yang telah bersifat hidrofil (turunan oksamil klorida) kembali mengalami konjugasi (metabolisme fase II) dengan asam glukuronat oleh enzim glukuronit transferase menjadi obat yang sangat hidrofil (turunan asam oksamat). Akibatnya, 80-90% kloramfenikol yang sangat hidrofil (turunan asam oksamat) diekskresi melalui ginjal dalam bentuk urin (Tim Penyusun, 2008).

2. Hubungan struktur, sifat fisika kimia dengan proses ekskresi.

v Ekskresi Obat melalui Paru

Obat yang di ekskresikan melaluiparu terutama adalah obat yang di gunakan secara inhalasi, seperti siklopropan, etilen nitrogen oksida, halotan, eter, kloroform dan enfluran. Sifat fisik yang menentukan kecepatan obat melalui paru adalah koefisien partisi darah/udara. Obat yang mempunyai koefisien partisi darah/udara kecil, seperti siklopropan dan nitrogen oksida, diekskresikan dengan cepat, sedang obat dengan koefisien partisi darah/udara besar, seperti eter dan halotan, di ekresikan lebih lambat.

v Ekskresi Obat melalui Ginjal

Ekskresi obat yang dikeluarkan dengan jalan filtrasi glomerusi sangat diperlambat, karena hanya obat bebas mengalami filtrasi. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan, misalnya benzilpenisilin (PP k.l 50%) hampir diekskresikan seluruhnya dengan pesat (Tjay, 2007).

Ekskresi obat melalui ginjal melalui tiga tahap yaitu, penyaringan glomerulus, absorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal dan sekresi aktif pada tubulus ginjal.

a. Penyaringan glomerulus

Ginjal menerima ± 20-25% cairan tubuh dari jantung atau 1,2-1,5 lier darah per menit, dan ± 10% disaring melalui glomerulus. Membran glomerulus empunyai karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul obat dengan garis tengah ± 40% Å, berat molekul lebih kecil dari 5000 dan obat mudah larut dalam cairan plasma atau obat yang bersifat hidrofil (Siswandono, 1995).

Selama filtrat ini dipekatkan dalam tubuli zat-zat lipofil berdifusi kembali secara pasif pula melalui membran sel-nya kedalam darah dan demikian menghindari ekskresi. Zat-zat hidrofil hampir tidak didifusi kembali dan langsung dikeluarkan lewat urine. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi agak ringan (Tjay, 2007).

Contohnya : Indometacin dengan Litium, dimana pada aliran darah keginjal diatur oleh prostaglandin (PG). Indometcin menghambat sintesis PG sehingga menyebabkan fungsi ginjal menurun dan kadar litium menjadi meningkat.

b. Adsorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal

Adsorpsi kembali molekul obat dan koefisien partisi lemak/air. Obat yang bersifat polar, sukar larut dalam lemak, tidak diadsorpsi kembali oleh mebran tubulus. Adsorpsi kembali pada tubular ini sanagat tergantung pada pH urin. Obat yang bersifat elektrolit lemah pada urine normal, pH = 4,8-7,5. Sebagian besar akan terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi, mudah larut dalam lemak, sehingga mudah diadsorpsi kembali oleh tubular.

c. Sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal

Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urinr melalui tubulus ginjal dengan mekanisme pengangkutan aktif. Sebagai contoh, kombinasi obat antara probenesid dengan penisilin meningkatkan masa kerja penisilin karena probenesid dapat menghambat sekresi pengangkutan aktif penisilin secara kompetitif sehingga ekskesi penisili menurun, kadar penisilin dalam darah tetap tinggi dan menunjukkan aktifitas lebih lanjut.

v Ekskresi Obat melalui Empedu

Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat telah dimetabolisis menjadi senyawa yang lebih polar, dapat diekresikan dari hati, melewati empedu, menuju keusus dengan mekanisme pengangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukoronat, asam sulfat atau glisin. Diusus bentuk konjugat tersebut secara langsung diekresikan melalui tinja ataupun mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang besifat nonpolar, sehingga di absorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati dan dimetabolisme dan di keluarkan kembali melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya hingga dinamakan siklus entherohepatik. Dimana siklus ini mempunyai masa kerja obat menjadi lebih panjang.

Contohnya adalah ampicilin diekresi kedalam empedu, dan dimanfaatkan dengan memberika ampicillin untuk infeksi dari saluran empedu. Beberapa obat dikethui mengalami siklus ini adalah dioksin, rifamfisin, stilboestrol, glutethimide, klorampenikol, indometacin dan morfin (Zaman, 2002).

Contoh mekanismenya : antara probenesid dengan penisillin. Dimana probenesid adalah obat asam urat yang merebut medium transport dari penisilin, sehingga menyebabkan ekskresi penisliin terhambat. Penisilin tertahan lama dalam ginjal. Sehingga menyebabkan efek penisilin lebih panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Siswandono, dan Bambang Soekarjo. 1995. Kimia Medisinal Edisi I. Airlangga university Press. Surabaya.

Tim Penyusun. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Universitas Indonesia. Jakarta

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-efek sampingnya. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Zaman, Nanizar. 2002. Ars Prescribendi Resep yang Rasional Edisi ke-3. Airlangga University Press. Surabaya.

 

Nurul Pharmacy08 © 2008. Design By: fsrid vio